Kamis, 23 April 2009

ABOUT ME

JUSTITIA VOOR IEDEREN
(Keadilan Untuk Semua)


Advokat yang menjadi salah satu penggagas berdirinya PERADI Cabang Kota Magelang dan kini dipercaya menjadi salah satu pengurus PERADI Cabang Magelang, lahir di Bangkinang 11 Desember 1977 (Riau). Dengan darah campuran Melayu Riau dan Minangkabau, dalam dirinya melekat nilai budaya yang tertuang dalam Gurindam 12 Raja Ali Haji dan Petatah Petitih Minangkabau.
Di kota kelahirannya, Aufa kecil menetap dan menempuh pendidikan hingga SMP. Selepas SMP Negeri 2 Bangkinang, melanjutkan pendidikan ke SPP Perikanan Dumai, yang dijalani sekitar 8 bulan dan memutuskan untuk keluar akibat tidak sesuai dengan cara dan metode pendidikan yang diterapkan, dimana banyak terjadi tindak kekerasan terhadap pelajar tingkat I yang dilakukan Pelajar Tingkat II dan Tingkat III. Namun demikian, nilai plus dari SPP Perikanan Dumai adalah nilai kedisiplinan tetap menjadi nilai yang dipegang hingga saat ini.
Keluar dari SPP Perikanan Dumai, pindah ke SMA Rusqoh Islamiyah Pekanabaru yang dijalani sekitar 1 (satu) bulan dan langsung pindah ke SMA Negeri 1 Bangkinang. Di SMA Negeri 1 Bangkinang, ternyata Aufa remaja pun tidak dapat menemukan apa yang dicari dan hanya menjalani pendidikan sekitar 5 bulan, untuk kemudian pindah ke SMA Negeri 2 Dumai.
Saat menempuh pendidikan di SMA Negeri 2 Dumai, mulai kenal dan dekat masyarakat kecil yang hidup di sekitar pelabuhan dan manjalani pekerjaan sebagai nelayan, buruh angkat maupun tukang becak. Disini, gejolak jiwa mudanya berontak melihat, mendengar dan menyaksikan bagaimana bangsa besar ini ternyata sering melupakan keberadaan dan arti penting rakyat kelas bawah.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 2 Dumai, kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang (FH-Unand) dan menyelesaikan SH-nya pada tahun 2001. Selama menjadi mahasiswa, aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus, seperti Fokusmaker, Himpunan Pelajar Mahasiswa Riau (HIPEMARI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) dan Aliansi Mahasiswa Untuk Reformasi (AMUR), Forum Komunikasi Mahasiswa Sumatera Barat (FKMSB), Lembaga Advokassi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan (LAM & PK) dan organisasi lainnya.
Ketika pergerakan mahasiswa 1998, turut ambil bagian dalam aktifitas demonstrasi dan pengkajian keilmuan mengenai arah dan pergerakan Indonesia menuju 2028.
Selama menjadi aktivis mahasiswa, sering melakukan pembelaan terhadap kasus-kasus masyarakat kecil yang berhadapan dengan kekuasaan. Kesan mendalam yang hingg kini melakat saat menangani perampasan Hak Ulayat masyarakat Nagari Mungo Sumatera Barat yang harus berhadapan dengan Departemen Pertanian yang didukung aparat Kepolisiant. Masyarakat Nagari Mungo yang sebagian besar awam hukum dan tidak memiliki kekuatan selain teriakan dan jeritan belaka, mengetuk hatinya dan beberapa rekan yang tergabung dalam LAM & PK untuk ikut membantu. Pertama kali menangani perkara ini, ternyata telah terjadi suatu “ketakutan” di lingkuangan Nagari Mungo akibat tindakan represif negara berupa penangkapan dan penahanan tanpa prosedure hukum dan tindak kekerasan negara lain berupa pelanggaran HAM warga.
Setelah turunnya Soeharto dari tampuk kepresidenan, sering mendapat tawaran untuk bergabung dengan berbagai parpol yang muncul seperti “cendewan setelah musim hujan”. Tapi, keinginan kuat dalam dirinya yang tidak terlalu memikirkan kekuasaan dan jabatan, mengantarkan dirinya untuk mengabdi dalam dunia jurnalistik. Beberapa media pernah disinggahi untuk “menyuarakan” derita rakyat seperti Haluan di Padang, Pekanbaru Pos di Riau dan Tabloid Mentari di Riau.
Gejolak dalam jiwa yang terus “menghantui” hari-hari membuatnya “banting stir” untuk terjun secara penuh dalam dunia hukum. Bukan hakim atau jaksa yang dipilih. Advokat – inilah dunia yang dirasa harus dibenahi dan dipegang kuat demi mencapai nilai-nilai kebenaran dan keadilan secara menyeluruh. Hal ini didasarkan atas pemikiran setiap proses persidangan haruslah diimbangi dengan hadirnya seorang advokat yang mampu melihat setiap kasus berdasarkan nilai-nilai obyektif.
Disadari, jaksa berada dalam posisi yang subyektif dengan penilaian yang subyektif dan hakim pada posisi yang obyektif dengan penilaian yang obyektif, maka dibutuhkan satu sisi lagi yang harus diisi berupa pihak yang mampu berada pada posisi yang subyektif dengan penilaian obyektif. Ketika tiga sisi ini mampu berjalan maksimal, maka JUSTITIA VOOR IEDEREN benar-benar akan terwujud dan bukan hanya “mimpi syurgawi” bagi seluruh kalangan.
Kini, setelah menikah dengan Sri Rejeki Rahayuningsih,A.Md, pada tahun 2005 dan diamanatkan Allah, SWT seorang anak Mullasheyla Quratu’aini pada tahun 2007, akhirnya menetapkan hidupnya untuk bertempat tinggal di Kota Magelang setelah sejak tahun 1993 sering melanglangbuana ke berbagai daerah demi tujuan yang diyakini dalam membela masyarakat untuk mencapai keadilan seutuhnya.
Bersama beberapa rekan advokat dan masyarakat yang peduli dengan penegakan hukum seutuhnya mendirikan sebuah firma hukum dengan nama RAMA Law Firm yang berlamat di Jalan Rama No 22 Bogeman Kota Magelang, 56111, Telp (0293) 5587482 dan dipercaya sebagai Managing Partners.

TIPS MEMILIH ADVOKAT/LAWYER

Tips Memilih (Advokat/Pengacara) Yang Profesional

Proses memilih Advokat/Pengacara (Perusahaan Konsultan / Kantor Konsultan) sesuai dengan kebutuhan hukumnya adalah hampir sama dengan proses memilih Dokter, Akuntan, Notaris, Arsitek dan pekerja profesional lainnya. Tentu dengan menjamin profesionalisme dalam pekerjaannya, seorang Jasa Perizinan Advokat/Pengacara harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi klien, sehingga klien dapat menilai dan percaya akan kwalitas kerja si Advokat/Pengacara. Perlu kehati-hatian dan ketelitian klien dalam memilih Jasa Perizinan dan menentukan Advokat/Pengacara untuk menangani urusan hukumnya. Agar tidak keliru dalam memilih Advokat/Pengacara yang dibutuhkan, perlu ditempuh beberapa tips di bawah ini :
1. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tersebut benar-benar nerupakan Advokat/Pengacara resmi yang memiliki izin praktek yang masih berlaku, bukan pengcara “gadungan” atau ”Pokrol”.
2. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara memiliki kwalifikasi yang baik dalam bidang hukum tersebut.
3. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tidak memiliki konplik kepentingan (conflict interest) dalam kasus yang ditangani.
4. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tidak akan melakukan kongkalikong dengan pihak lawan atau Advokat/Pengacara pihak lawan.
5. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tersebut memiliki track record yang baik dalam keAdvokat/Pengacaraan(Perusahaan Konsultan / Kantor Konsultan), termasuk menyangkut etika, moral dan kejujurnnya.
6. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tersebut tidak pernah terlibat dalam malpraktek hukum.
7. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara adalah type pekerja keras dan berdedikasi tinggi akan profesinya serta benar berkerja demi kepentingan kliennya, bukan Advokat/Pengacara yang hanya pintar bicara lalu minta bayaran tetapi tidak becus membela kepentingan kliennya.
8. Jika anda ragu akan kredibiltas seorang Advokat/Pengacara, mintakanlah foto copy Izin Praktek Advokat yang bersangkutan (berwarna merah) yang diterbitkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (dalam waktu dekat akan diganti dengan diterbitkan oleh PERADI), bukan kop suratnya, atau mintalah informasi tentang si Advokat/Pengacara tersebut lagsung kepada asosiasi-asosiasi Advokat/Pengacara resmi yang diakui oleh undang-undang yaitu : Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
9. Bahwa, jika anda diperlakukan tidak sepatutnya oleh oknum Advokat/Pengacaraa, maka anda dapat melaporkan yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM).

Senin, 20 April 2009

UU KDRT

UU Penghapusan KDRT; Sebuah Dilema Rumah Tangga

Membaca judul tulisan ini, mungkin banyak orang yang tidak setuju terlebih lagi para pendukung keberadan UU Penghapusan KDRT yang telah memakan banyak “korban” dalam penegakan hukumnya. Ya, UU Penghapusan KDRT yang dilahirkan pada tahun 2004 lalu memiliki tujuan untuk mencegah dan / atau meminimalkan terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga ternyata telah menjadi senjata “ampuh” bagi “pelaku yang menjadi korban” untuk memidanakan “korban yang jadi pelaku”. Dari dua susunan kata disini, “pelaku yang menjadi korban” dan “korban yang menjadi pelaku” menjadi sebuah kenyataan di lapangan seiring proses penegakan dan penanganan UU Penghapusan KDRT dalam lingkup pemidanaannya. Hanya sedikit sekali penegakan hukum UU Penghapusan KDRT menyentuh esensi awal tujuan dilahirkan undang-undang tersebut seperti termaktub dalam penjelasannya dengan menyebutkan untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dengan jalan melakukan pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga
Pada pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT sendiri disebutkan pembaharuan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Benarkah keberadaan undang-undang lain sebelum lahirnya UU Penghapusan KDRT belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum? Apakah ini merupakan suatu pernyataan yang sesuai dengan kondisi dalam kehidupan masyarakat ataukah hanya sebuah pernyataan untuk menjustifikasi lahirnya UU Penghapusan KDRT demi memenuhi keinginan kelompok-kelompok kepentingan tertentu belaka?
Pertanyaan ini perlu di jawab secara jujur oleh semua pihak karena tujuan awal dari keberadaan UU Penghapusan KDRT ternyata menimbulkan permasalahan baru dalam penegakan dan pengananan hukumnya. Terlihat jelas, dalam setiap penanganan perkara KDRT (- yang biasanya ditangani oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak pada Kepolisian-) sama sekali tidak menyentuh esensi keadilan, baik itu bagi korban maupun pelaku KDRT. Banyak kenyataan di lapangan, pelaku yang kemudian dilaporkan atau diadukan melakukan tindak pidana KDRT ternyata pada awalnya merupakan korban dari jenis tindak pidana KDRT lainnya yang dilakukan oleh korban yang sebenarnya adalah pelaku awal dari sebuah proses kelahiran serangkaian KDRT dalam lingkup rumah tangganya.
Hal ini terlihat dari beberapa contoh kasus yang pernah ditangani penulis, dimana seorang pelaku KDRT yang dilaporkan kepada aparat kepolisian ataupun LSM Pendamping ternyata adalah seorang korban dari tindak pidana KDRT jenis lainnya. Tapi, karena kondisi terlapor/teradu adalah seorang suami (-yang notabenenye menyandang prediket sebagai seorang laki-laki yang katanya tidak boleh mengeluh dan menangis-), maka ketika terjadi KDRT terhadap dirinya yang dilakukan seorang isteri, sang terlapor/teradu sering mendiamkannya dan mencoba untuk berdiri tegar dengan tekad bahwa inilah rumah tanggaku dan inilah wanita pilihanku yang memang kujadikan seorang isteri.
Namun demikian, karena makin memuncaknya tekanan psikis akibat kehidupan rumah tangga sang terlapor/teradu yang tidak menentu, kemudian pada suatu saat sang terlapor/teradu melakukan tindakan pemukulan sebagai upaya melakukan pengajaran terhadap isterinya untuk tidak berbuat atau bertindak yang tidak patut dalam lingkup rumah tangga dan masyarakat. Tapi apa lacur, tujuan awal memukul isteri untuk memberikan pengajaran berujung petaka bagi sang suami karena sang isteri kemudian melaporkan / mengadukan sang suami ke aparat kepolisian dengan sangkaan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur oleh UU Penghapusan KDRT.
Sesaat setelah laporan / pengaduan sang isteri diterima aparat kepolisian, kemudian sang suami dipanggil untuk memberikan keterangan tentang tindak pidana yang dilaporkan/diadukan tersebut. Namun demikian, pada saat memberikan keterangan dihadapan penyidik, sang suami berada dalam posisi “yang bersalah” karena ungkapan dan kata-kata yang diungkapkan oleh penyidik lebih sering menyudutkan posisi terlapor/teradu dan bukan untuk menemukan tindak pidana yang sesungguhnya. Hal ini mengakibatkan tekanan yang cukup berat bagi terlapor/teradu karena sebagai seorang suami yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan isteri ke arah yang lebih baik ternyata telah “dihambat” oleh undang-undang yang seharusnya memberikan keadilan bagi semua pihak.
Ya, inilah dilema dalam penegakan UU Penghapusan KDRT. Banyak peristiwa dalam lingkup KDRT terjadi pada posisi “terlapor / teradu” sebenarnya adalah “korban” dari suatu rangkaian kekerasan dalam rumah tangganya sendiri. Hal ini tentunya harus disikapi secara arif dan bijaksana oleh semua pihak, terutama sekali pihak yang berhubungan langsung dengan penanganan kasus-kasus KDRT, terutama sekali aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan juga para praktisi hukum lainnya untuk melihat secara jernih setiap permasalahan KDRT yang ditanganinya.
Untuk itu, dalam penanganan kasus-kasus KDRT (baik itu aparat kepolisian maupun LSM pendamping) harus mencoba untuk menelisik kasus-kasus KDRT yang ditangani dengan jalan melihat proses sebab - musabab – dan akibat dari suatu tindak pidana KDRT. Suatu tindak pidana – dalam bentuk apa pun- tidak akan pernah terlepas dari suatu proses sebab – musabab – dan akibat. Dalam hal ini, terjadinya suatu tindak pidana dimulai dari suatu sebab yang kemudian melahirkan musabab dan terakhir memunculkan akibat akhir sebagai suatu tindak pidana. Dengan proses penanganan perkara seperti ini, diharapkan sekali setiap penanganan kasus-kasus KDRT dapat menyentuh esensi keadilan bagi semua pihak, baik itu pelaku yang menjadi korban ataupun korban yang menjadi pelaku.
Diakui memang, tidak semua pelaku menjadi korban dalam suatu dugaan tindak pidana KDRT, tetapi hal ini sangat sering terjadi pada kasus-kasus yang dilaporkan kepada aparat kepolisian karena setiap kasus yang dilaporkan tersebut rata-rata dilaporkan oleh pihak yang mengerti akan undang-undang ini dengan baik dan menjadikan undang-undang sebagai tameng untuk memidanakan “pelaku yang menjadi korban”. Sementara itu, kasus-kasus KDRT yang memiliki dampak besar dalam lingkup kehancuran rumah tangga sering tidak terlaporkan karena adanya ketakutan dari korban yang benar-benar sebagai korban akibat ketakutan karena sikap pelaku yang memang sangat melebihi batas kewajaran dan kemanusiaan. Akhirnya, pihak yang memperoleh keuntungan dari proses penanganan yang tidak menyeluruh ini adalah pihak yang menggunakan kekuatan UU Penghapusan KDRT sebagai upaya mencari keuntungan sesaat, baik itu keuntungan materil maupun non materil.
Satu hal yang pasti, selama penanganan KDRT masih memihak pada “korban yang menjadi pelaku”, maka efektifitas keberadaan undang-undang tidak akan menyentuh esensi awal dari dilahirkannya undang-undang Penghapusan KDRT. Tindak kekerasan dalam rumah tangga memang suatu hal yang harus diminimalisir ataupun dihilangkan dalam lingkup rumah tangga di Indonesia guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi semua pihak. Tapi, jangan sampai dengan undang-undang yang punya tujuan mulia ini malah menjadi sebuah dilema baru dalam menjalankan kehidupan rumah tangga karena hilang atau hancurnya posisi sang suami sebagai pengayom, pendidik dan pelindung dalam rumah tangga.