Sabtu, 26 Maret 2011

Sebuah Eksepsi

EKSEPSI
Atas Surat Dakwaan Penuntut Umum
Kejaksaan Negeri Mungkid
No. Reg. Perk : PDM-15/MUNGKID/2011

Dalam Perkara Pidana
Nomor : 040 / Pid B Sus / PN.Mkd / 2011
Pada Pengadilan Negeri Mungkid di Kota Mungkid

Pelanggaran Miranda Rule
Terhadap Hak-Hak Tersangka / Terdakwa

Terdakwa Oleh Jaksa Penuntut Umum di Dakwa melanggar :

Pertama : Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002
Kedua : Pasal 285 Jo Pasal 53 ayat (1) KUHP
Ketiga : Pasal 335 ayat (1) ke – 1 KUHP
Keempat : Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002


Oleh :

NOOR AUFA,SH

Kepada Yang Mulia;
Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Pidana
Nomor : 040 /Pid.B.Sus/2011/PN.Mkd
Pada Pengadilan Negeri Mungkid
di-
KOTA MUNGKID


Majelis Hakim Yang Kami Muliakan;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia;

Setelah pada persidangan lalu kita mendengarkan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa Mendy Saputra Bin Robert Frans, maka kini perkenankanlah kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa menyampaikan eksepsi/tangkisan/keberatan dalam perkara yang tengah diperiksa ini. Berdasarkan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Yang Terhormat, kiranya kami merasa sangat perlu untuk menyampaikan eksepsi ini demi kepentingan hukum dan keadilan serta memperoleh jaminan perlindungan hak-hak asasi tersangka/terdakwa atas kebenaran, kepastian hukum dan keadilan. Selain itu, eksepsi ini perlu kami sampaikan demi perlindungan hukum yang lebih luas bagi masyarakat pada umumnya maupun pembangunan hukum dalam proses beracara pada persidangan perkara pidana yang semuanya itu telah pula dijamin oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai landasan hukum beracara di negara ini.

Bertitik tolak dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk kemudian berlanjut pada Surat Dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut pada persidangan perkara ini, pada dasarnya adalah langkah penegakan hukum demi menemukan kebenaran materiil hukum pidana. Dalam artian pula, bahwa proses yang kita jalani bersama-sama saat ini adalah proses menegakkan prinsip-prinsip hukum pidana yang berlaku bagi segenap warga negara tanpa pandang bulu, baik itu hukum pidana formil maupun hukum pidana materiil, demi terwujudnya suatu kebanaran dan keadilan yang dituangkan dalam putusan majelis hakim yang mulia yang sering diibaratkan sebagai perpanjangan tangan Tuhan di atas dunia ini.

Majelis Hakim Yang Kami Muliakan;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia;

Proses persidangan perkara sendiri, merupakan suatu rangkaian proses dari mulai adanya dugaan suatu tindak pidana yang kemudian berlanjut dengan peneyelidikan dan penyidikan dari Kepolisian untuk kemudian diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum guna melakukan penuntutan dan dari Jaksa Penuntut Umum menyerahkan kepada Pengadilan yang berwenang untuk mengadili guna dihasilkan suatu putusan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dari rangkaian proses ini, tidak satupun yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan suatu rangkaian proses yang saling terkait guna melahirkan suatu penegakan hukum yang bermartabat.

Proses persidangan peradilan pidana sendiri, berangkat dari adanya Surat Dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. Posisi atau kedudukan surat dakwaan dalam penanganan perkara pidana ini menempati posisi yang sangat penting. Hal ini dikarenakan surat dakwaan mempunyai 2 (dua) segi dalam suatu persidangan, yaitu segi positif dan segi negative (Zulkarnain; 2006 : 89). Surat dakwaan mempunyai segi positifnya dimana keseluruhan isi dakwaan yang terbukti di persidangan harus dijadikan dasar oleh majelis hakim dalam memberikan putusannya. Sementara itu, surat dakwaan memiliki segi negative bahwa apa yang dinyatakan terbukti dalam suatu proses persidangan harus dapat ditemukan kembali dalam surat dakwaan yang diajukan Penuntut Umum pada awal persidangan.

Yahya Harahap (1988; 415) menyatakan bahwa putusan perkara pidana dalam teori maupun praktek sangat bergantung pada surat dakwaan, oleh karena surat dakwaan merupakan landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka persidangan, dan kemudian menjadi landasan bagi hakim dalam menyusun pertimbangan hukum dan putusan. Selain itu, dalam Yurisprudensi MA RI No : 68K/KR/1973, 16 Desember 1976 menyatakan bahwa putusan hakim wajib mendasarkan pada rumusan surat dakwaan.

Surat dakwaan sendiri yang memuat berbagai uraian verbal tindak pidana yang di duga dilakukan terdakwa, haruslah disusun berdasarkan bahan-bahan/fakta-fakta, kemudian ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan yang sudah tertuang secara resmi dalam BAP yang dilimpahkan penyidik ke Kejaksaan. Untuk kemudian berangkat dari bahan-bahan/fakta-fakta tersebut, Penuntut Umum akan menuangkannya dalam suatu Surat Dakwaan guna mendakwa seorang terdakwa dalam suatu proses persidangan perkara pidana.

Namun demikian, setelah memperhatikan apa yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Kepolisian serta Surat Dakwaan yang telah disampaikan Jaksa Penuntut Umum pada persidangan lalu, maka kami merasa perlu untuk menyampaikan eksepsi ini. Bukan demi kepentingan terdakwa yang duduk pada kursi panas persidangan, melainkan demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan seharusnya. Sudah merupakan kewajiban bagi Penasihat Hukum untuk mengajukan eksepsi/tangkisan/bantahan atas Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum apabila dalam Surat Dakwaan tersebut ada sesuatu yang tidak sesuai dengan seharusnya dan/atau Surat Dakwaan tersebut beramula dari sebuah proses yang menyalahi prosedur hukum.

Perlunya eksepsi diajukan atas Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang dipandang tidak sesuai dengan seharusnya bukan sekedar untuk membuat persidangan menjadi lama melainkan lebih dari itu karena pada dasarnya fungsi surat dakwaan bagi terdakwa dan/atau penasihat hukum adalah sebagai :
• Dasar menyusun pembelaan (pledooi)
• Dasar menyiapkan bukti-bukti terhadap dakwaan penuntut umum
• Dasar pembahasan yuridis
• Dasar melakukan upaya hukum

Majelis Hakim Yang Kami Muliakan;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia;

Pada Tahun 399 SM, Socrates sebagai filsuf besar dalam usianya yang 70 Tahun, dihadapkan pada persidangan yang terkenal dengan “Court of The Heliast”, dimana pada persidangan tersebut Socrates diadili oleh 501 Warga Athena. Jumlah Ganjil untuk menjamin suatu putusan bebas atau bersalah dalam peradilan tersebut. Pada dasarnya, peradilan ini menuduh Socrates melakukan dua kejahatan, yaitu :
 Pertama : Socrates sengaja menolak menyembah dewa resmi Yunani
 Kedua : Socrates sengaja merusak pikiran generasi muda Yunani

Tiga orang Penuduh (Penuntut) yaitu Anytus, Meletus dan Cylin maju ke hadapan persidangan dan membacakan kedua tuduhan yang didakwakan kepada Socrates. Dari awal dibuka persidangan, Socrates telah dengan sadar menyakini bahwa ia sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari persidangan sebagai orang bebas, karena sebagian besar hakim adalah musuh-musuhnya dan demikian pula dengan penuduhnya. Untuk tuduhan tidak beragama, Socrates akan dengan mudah menangkis karena pokok masalahnya tidak langsung menyangkut kehidupan warga Athena. Tapi, untuk tuduhan “merusak pikiran generasi muda” sangat tidak mungkin bagi Socrates untuk menangkisnya karena sebagian besar warga Athena telah bersikap antipati terhadap Socrates. Kaum muda Yunani kala itu dianggap sering membangkang dan selalu membantah bila diberi nasehat kaum tua yang di duga akibat tindakan Socrates dengan melatih kaum mudanya berpikir kritis dan konstruktif. Selain itu, fakta lain yang menimbulkan kebencian terhadap Socrates adalah ramalan dari Kuil Apollo di Delphi yang menyatakan Socrates sebagai orang terpandai saat itu. Seiring dengan itu, isu-isu politik dan tuduhan-tuduhan selalu dilancarkan kepada Socrates dan berbagai nilai etika serta moral pun diabaikan. Semua ini dilakukan demi mencapai tujuan sesaat dan bukan demi kemaslahatan umat, apalagi demi menegakkan hukum dan keadilan.

Majelis Hakim Yang Kami Muliakan;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia;

Berangkat dari peristiwa peradilan Socrates tersebut, terlihat nyata bagaimana etika, moral dan nilai-nilai mulia hukum dicabut dari akarnya yaitu keadilan hanya demi tujuan sesaat guna memenuhi kepentingan kelompok tertentu. Sungguh sebuah ironi, Athena yang terkenal sebagai negeri paling demokratis di zamannya ternyata memberikan dan menorehkan noda paling hitam yang menjadi pengalaman sungguh berarti dalam dunia hukum dan peradilan. Hukum telah dijadikan sebagai senjata paling ampuh guna mengangkangi kebebasan dan keadilan.

Berkaca dari hal tersebut, sudah sepantasnya apabila kita yang hadir dalam persidangan ini kembali mengetuk hati nurani masing-masing dalam melihat dan mempelajari dengan seksama perkara yang tengah kita hadapi. Marilah, kita bersama-sama menghilangkan segala tendensi apapun. Patutlah kiranya hukum dan peradilan sebagai suatu gerbang utama menuju keadilan bagi semua pihak sehingga tujuan mulia hukum benar-benar tercapai.

“Hukum adalah suatu perintah yang masuk akal, ditujukan untuk kesejahteraan umum, dibuat oleh mereka yang mengemban tugas suatu masyarakat yang dipromulgasikan”. Demikianlah defisini hukum menurut Thomas Aquinas, dimana definisi ini tetap menjadi definisi yang lengkap dan aktual hingga saat ini. Hukum adalah suatu perintah yang logis. Kalau ada hukum yang tidak logis maka hukum itu bertentangan dengan eksistensinya sendiri. Kelogisan hukum itu sendiri dapat diverifikasikan dalam kalimat-kalimat yang tertuang dalam perumusan suatu tata aturan yang kemudian menjadi tolak ukur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hukum haruslah adil dan selalu memperjuangkan keadilan bagi semua pihak, termasuk keadilan sutuhnya bagi seorang Tersangka dan/atau Terdakwa. Hukum yang tidak adil bertentangan sekali dengan hakikat keberadaan hukum dan haruslah diubah agar mencapai sasarannya yaitu kesejahteraan umum serta keadilan. Ketika anak manusia berhadapan dengan proses hukum itu sendiri, tidak lain dan tidak bukan yang diharapkan adalah lahirnya sebuah KEADILAN seutuhnya yang diformulasikan melalui lembaga peradilan lewat majelis hakimnya.

Ketika proses dalam memperoleh keadilan pada suatu peradilan pidana yang dimulai dari tahap penyidikan hingga adanya suatu putusan peradilan yang memiliki kekuatan hukum tetap gagal untuk mewujudkan keadilan, maka terjadilah apa yang kita kena dengan istilah “miscarriage of Justice” (Kegagalan dalam penegakan keadilan). Persoalan “Misscarriage of Justice” sendiri merupakan persoalan yang universal dan factual yang dihadapi oleh hampir semua negara dalam penegakan system peradilan pidananya.

Majelis Hakim Yang Kami Muliakan;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia;

Dasar Hukum Pengajuan Eksepsi

Pengajuan eksepsi dalam suatu persidangan perkara pidana oleh Terdakwa dan/atau Penasihat Hukumnya memang sering dinilai sebagai langkah sia-sia dan mengada-ada belaka guna mengulur waktu persidangan. Ada pula yang beranggapan pengajuan eksepsi sebagai suatu kebodohan Terdakwa dan/atau Penasihat Hukunya, karena hal itu akan memberikan peluang bagi Jaksa Penuntut umum untuk memperkuat strategi guna menggolkan surat dakwaannya. Terlepas dari semua itu, selaku Penasihat hukum dari Terdakwa, kami berkeyakinan ketentuan Pasal 156 KUHAP yang memberikan kesempatan Terdakwa dan/atau Penasihat Hukumnya mengajukan keberatan tiada lain bermaksud memberikan hak sekaligus kewajiban kepada Terdakwa dan/atau Penasihat Hukumnya guna mengajukan Eksepsi apabila memang dalam Surat Dakwaan terdapat kekurangan-kekurangan atau kekeliruan bersifat yuridis yang akan menyebabkan Terdakwa tidak dapat membela dirinya atau dibela Penasihat Hukumnya dengan sebaik-baknya dan seadil-adilnya sesuai dengan aturan hukum yang seharusnya.

Disini, kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa Mendy Saputra Bin Robert Frans, berkeyakinan, Majelis Hakim Yang Mulia akan menilai positif dan akan memperhatikan secara serius serta bijak dan obyektif eksepsi yang kami ajukan ini. Kami tidak akan kecewa apabila rekan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini memanfaatkan eksepsi kami untuk mengatur strategi yang lebih baik guna menggolkan Surat Dakwaannya. Hal ini tidak lain dan tidak bukan, karena kami berprinsip suatu Peradilan yang baik, jujur dan adil haruslah ditunjang dengan upaya yang optimal dari seluruh unsur penegak hukum di dalamnya.

Adapun di dalam KUHAP sendiri, sebagaimana tertuang pada Pasal 156 ayat (1), telah memberikan peluang dan/atau kesmpatan kepada Terdakwa dan/atau Penasihat Hukumnya untuk mengajukan keberatan, yang meliputi :
• Eksepsi Pengadilan Tidak Berwenang Mengadili Perkara
• Eksepsi Dakwaan Tidak Dapat Diterima
• Eksepsi Surat Dakwaan Harus Dibatalkan

Selanjutnya, selain apa yang diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP tersebut, dalam praktek atau dalam peraturan perundang-undangan lainnya terdapat pula beberapa keberatan lain yang dapat diajukan Terdakwa dan/atau penasihat Hukumnya, yaitu :

Eksepsi Kewenangan Menuntut Gugur

Eksepsi ini memohon kepada Majelis Hakim supaya memutuskan kewenangan penuntut umum untuk menuntut dalam suatu perkara hapus atau gugur.
Yang masuk dalam kategori ini adalah :
• Exceptio Judicate atau nebis in Idem (Pasal 76 KUHP)
• Exceptio in Tempores (Pasal 78 KUHP)
• Terdakwa meninggal dunia (Pasal && KUHP)

Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima

Dalam hal eksepsi ini, diatur sebagaimana terdapat pada Pasal 263 ayat (2) huruf a dan Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP. Dalam ketentuan pasal-pasal tersebut menyatakan dibolehkannya putusan hakim dengan amar putusan, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Eksepsi jenis ini adalah keberatan terhadap tindakan penuntutan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum.

Menurut Yahya Harahap,SH; dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali”, Penerbit Sinar Grafika, halaman 121, menjelaskan :
Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima adalah merupakan eksepsi yang dilakukan oleh Terdakwa atau penasihat hukumnya apabila tata cara pemeriksaan yang dilakukan terhadap Terdakwa tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau yang dimintakan ketentuan undang-undang. Dalam mengajukan eksepsi ini, permohonan yang dimintakan kepada hakim adalah agar hakim menjatuhkan putusan dengan amar menyatakan bahwa tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Termasuk dalam kategori eksepsi ini adalah :
• Eksepsi pelanggaran Miranda Rule, bahwa penyidikan tidak memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP
• Eksepsi pemeriksaan tidak memenuhi syarat klacht delicten
• Eksepsi penyidikan tidak memenuhi ketentuan yang diwajibkan dalam KUHAP dan atau peraturan perundangan linnya yang berkaitan

Sedangkan menurut Lilik Mulyadi,SH,MH, dalam bukunya “Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjaan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan”; Penerbit Citra Aditya Bhakti, Bandung, halaman 102 – 103, menjelaskan :

Yang dimaksud eksepsi tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, adalah :
• Apa yang didakwakan penuntut umum dalam durat dakwaannya telah kadaluwarsa
• Bahwa adanya nebis in idem, yaitu seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya terhadap perbuatan yang sama
• Bahwa tidak ada unsure pengaduan padahal terdakwa didakwa telah melakukan perbuatan tindak pidana yang masuk dalam kategori delik aduan (klacht delict). Adanya unsure yang didakwakan penuntut umum kepada Terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan/disangkakan
• Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukan merupakan tindak pidana akan tetapi merupakan ruang lingkup dalam bidang hukum perdata

Dasar hukum yang memperbolehkannya eksepsi ini juga terdapat pada yurisprudensi sebagai berikut :
• Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 510 K / Pid / 1988 tanggal 28 April 1988, yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
• Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1565 K / Pid / 1991 tanggal 16 September 1993 yang menyatakan : apabila syarat-syarat permintaan dan/atau hak tersangka/terdakwa tidak terpenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima
• Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 03 Pid / 2002 / PTY tertanggal 07 Maret 2002, menyatakan penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum tidak dapat diterima karena didasarkan pada penyidikan yang tidak syah, yaitu melanggar Pasal 56 ayat (1) KUHAP;
• Putusan Pengadilan Negeri Blora, Nomor : 11 / Pid.B / 2003 /PN.Bla tertanggal 13 Februari 2003, menyatakan penuntutan tidak dapat diterima karena dilakukan atas dasar BAP yang batal demi hukum, karena dilakukan dengan melanggare ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP;
• Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor : 34 / Pid.B / 1995 / PN.Tgl tertanggal 26 Juni 1995 yang menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Mabes Polri tidak syah karena Pasal 56 ayat (1) KUHAP tidak diterapkan sebagaimana mestinya, sehingga penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.


Majelis Hakim Yang Kami Muliakan;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia;

Jenis Eksepsi Yang Diajukan

Bahwa dalam perkara yang kita hadapi saat ini, eksepsi yang akan kami ajukan selaku Penasihat Hukum Tterdakwa Mendy Saputra Bin Robert Frans adalah eksepsi atas dilakukannya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana terdapat pasa Pasal 56 ayat (1) KUHAP oleh penyidik Polri dalam perkara ini, yang lebih dikenal dengan “Pelanggaran Miranda Rule” dalam proses peradilan, dengan alasan sebagai berikut :
• Tersangka diancam dengan pidana penjara masksimal 15 Tahun penjara
• Dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP, penyidik WAJIB menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka/Terdakwa
• Fakta hukum menunjukkan ternyata penyidik Polri dalam perkara ini telah melalaikan kewajibannya dalam menunjuk penasihat hukum bagi tersangka/terdakwa

Dalam “due process of law” sekalipun pihak Kepolisian dalam menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan telah diberi hak istimewa oleh undang-undang atau hak privillege berupa : memanggil, memeriksa, menahan, menangkap, menggeledah, menyita terhadap dan dari diri tersangka, akan tetapi di dalam melaksanakan hak-haknya tersebut pihak kepolisian harus taat dan tunduk kepada prinsip The Right of Due Process, yaitu tersangka berhak diselidik dan/atau disidik atas landasan “sesuai dengan hukum acara”.

Bertitik tolak dari asas ini, Polri dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan “penyidikan”, harus berpatokan dan berpegang teguh pada ketentuan khusus yang telah diatur dan dituangkan pada Hukum Acara Pidana (Criminal Procedure) sebagaimana terdapat pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau dikenal dengan istilah KUHAP.

Konsep due process merupakan bagian integral dari upaya menjunjung tinggi supremasi hukum dalam menangani suatu tindak pidana yang pelaksanaannya harus berpedoman dan menghormati doktrin inkorporasi yang memuat berbagai hak yang antara lain telah dirumuskan pada BAB VI KUHAP, yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum seperti termaktub pada Pasal 54 KUHAP.

Namun, khusus untuk sangkaan/dugaan/dakwaan yang diancam dengan hukuman pidana penjara maksimal 15 tahun atau lebih, sebagaimana yang sekarang didakwakan kepada Terdakwa Mendy Saputra Bin Robert Frans, tersangka seharusnya bukan hanya sekedar diberitahu belaka tentang haknya untuk mendapat bantuan hukum seperti tersebut pada Pasal 54 Jo Pasal 114 KUHAP. Lebih dari itu, tersangka harus menerima haknya untuk mendapatkan bantuan hukum sejak dari awal proses penyidikan seperti ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang menegaskan :

“Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”


Kewajiban untuk menunjuk penasihat hukum sebagaimana terdapat pada Pasal 56 ayat (1) KUHAP ini adalah suatu kewajiban yang bersifat imperative, dan apa yang terdapat pada Pasal 56 ayat (1) KUHAP ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari asas “presumption of innocence” dan hak-hak asasi serta berkaitan dengan pengembangan Miranda Rule yang juga telah diadaptasi dalam KUHAP, seperti :
• Melarang penyidik melakukan praktik pemaksaan yang kejam untuk memperoleh “pengakuan” (brutality to coerce confession)
• Melarang penyidik melakukan intimidasi kejiwaan (psychological intimidation)


Berbarengan dengan larangan dimaksud, tersangka diberikan hak untuk diperingatkan “hak konstitusionalnya” yang disebut dengan Miranda Warning antara lain :
• Hak untuk tidak menjawab ( a right to remain silent)
• Hak didampingi penasihat hukum (a right to the presence of an attorney)

Namun, khusus untuk ketentuan sebagaimana diatur pada Pasal 56 ayat (1) KUHAP, sekali lagi kami tegaskan bahwa penyidik tidak hanya wajib memberitahukan akan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum, namun dalam hal ini penyidik wajib untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka. Dan, apabila terjadi setelah adanya penunjukan penasihat hukum oleh penyidik, tersangka menolak untuk didampingi penasihat hukum, guna menciptakan penegakan hukum yang transparan, maka hal penolakan oleh tersangka ini seharusnya terjadi setelah penyidik melaksanakan kewajibannya untuk menunjuk penasihat hukum. Sedangkan, bila memang ada penolakan ini dari tersangka, demi terciptanya suatu kejujuran dalam proses penegakan hukum (law enforcement), penolakan oleh tersangka ini seharusnya dilakukan dan/atau diketahui langsung di hadapan penasihat hukum yang telah ditunjuk oleh penyidik tersebut dengan terlebih dahulu penyidik kepolisian menghadapkan penasihat hukum tersebut kepada tersangka/terdakwa bukan hanya dengan memberikan surat pernyataan tidak menginginkan seorang penasihat hukum sebagaimana banyak kita temui dalam praktek peradilan pidana selama ini.

Adapun yang menjadi kebiasaan dalam praktek selama ini, ternyata penyidik hanya berusaha untuk membuat dan mendapatkan “Surat Pernyataan Tersangka Yang Isinya Tidak Bersedia Didampingi Penasihat Hukum”. Padahal, sekalipun surat pernyataan dari tersangka ini ada, seharusnya tidak dapat melumpuhkan dan/atau menghilangkan ketentuan undang-undang yang mewajibkan pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sebagaimana ditegaskan Pasal 56 ayat (1) KUHAP.

Dari segi pendekatan formalistic legal thingking, ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP, sebagaimana dijelaskan dalam buku M. Yahya Harapah, SH, berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP” hal. 327, Penerbit Sinar Grafika, Tahun 2000, menerangkan Pasal 56 ayat (1) KUHAP mengandung berbagai aspek permasalahan hukum yaitu :
1. Mengandung aspek nilai HAM, sesuai dengan deklarasi “universal” HAM yang menegaskan bahwa hadirnya penasihat hukum mendampingi tersangka atau terdakwa merupakan nilai yang inheren pada diri manusia. Dengan demikian mengabaikan hak ini bertentangan dengan nilai HAM;
2. Pemenuhan hak ini dalam proses peradilan pada semua tingkat pemeriksaan, menjadi kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan, sehingga mengabaikan ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP ini mengakibatkan hasil pemeriksaan tidak syah dan batal demi hukum;
3. Bahwa Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat menjadi salah satu patokan MIRANDA RULE atau MIRANDA PRINCIPLE, yang menegaskan apabila pemeriksaan penyidikan, penuntutan, atau persidangan, tersangkat atau terdakwa tidak didampingi penasihat hukum, maka sesuai dengan MIRANDA RULE, pemeriksaan adalah tidak syah atau batal demi hukum (null and void)


Majelis Hakim Yang Kami Muliakan;
Rekan Jaksa Penuntut Umum;
Serta hadirin sekalian yang terhormat;

Dakwaan Jaksa Penunut Umum dalam perkara ini yang pada Dakwaan Kesatu telah menjerat terdakwa dengan Pasal 82 Undang-Undang RI Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana maksimal 15 Tahun penjara, mengharuskan penyidik memerhatikan dan melaksanakan ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP dalam melakukan proses penyidikan pada diri terdakwa.

Dalam tahap konsultasi penyidik dengan jaksa penuntut umum dalam menangani perkara ini, jaksa penuntut umum sudah seharusnya dapat mengingatkan penyidik tentang hak tersangka sebagaimana dimaksud pasal 56 ayat (1) KUHAP, namun hal ini diduga kuat tidak dilakukan Jaksa Penuntut Umum, oleh karena itu Jaksa Penuntut Umum tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya begitu saja terhadap pelanggaran Miranda Rule seperti dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Dengan tidak ditunjuknya penasihat hukum oleh pejabat penyidik terhadap tersangka/terdakwa, maka penyidik telah melakukan pelanggaran terhadap KUHAP dalam proses penyidikan terhadap tersangka/terdakwa, khususnya pelanggaran terhadap Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Pelanggaran yang dilakukan pejabat penyidik dalam perkara ini merupakan suatu pelanggaran yang prinsipil dalam Hukum Acara Pidana yang merupakan rule of the game penegakan hukum pidana, sehingga dengan demikian hasil BAP penyidik yang dijadikan dasar penyusunan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah tidak berdasarkan hukum.

Bahwa, mengingat Miranda Rule yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP bersifat imperative, maka mengabaikan ketentuan ini mengakibatkan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Tidak Dapat Diterima serta mengakibatkan “hasil penyidikan tidak syah atau illegal”. Hal mana, pendirian dan penerapan yang seperti ini telah dikukuhkan dalam salah satu Putusan Peradilan Mahkamah Agung RI, yaitu Putusan MARI Nomor : 1565 K / Pid / 1991 tanggal 16 September 1993, dalam kasus ini proses pemeriksaan penyidikan melanggar ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP yaitu penyidikan berlanjut terhadap tersangka tanpa didampingi penasihat hukum.

Bahwa atas dasar hal-hal yang kami sampaikan diatas selaku Penasihat Hukum Terdakwa, dapatlah kiranya disimpulkan bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari penyidik Polri dalam perkara ini terhadap Terdakwa Mendy Saputra Bin Robert Frans adalah illegal karena proses penyidikan tanpa didampingi penasihat hukum, dan oleh karenanya Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap diri terdakwa yang dibuat atas dasar BAP tesebut adalah cacat hukum.

Majelis Hakim Yang Kami Muliakan;
Rekan Jaksa Penuntut Umum;
Serta hadirin sekalian yang terhormat;

Atas uraian eksepsi/keberatan yang telah kami sampaikan dan atas dasar ketentuan sebagaimana diatur serta ditegaskan Pasal 56 ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP maka dengan ini kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa Mendy Saputra Bin Robert Frans memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim pemeriksa perkara ini agar berkenan menetapkan dan memutuskan :

1. Menerima dalil-dalil serta alasan-alasan yang kami uraikan dalam eksepsi atau keberatan kami atas surat dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara ini
2. Menyatakan hasil Berita Acara Pemeriksaan oleh Penyidik dari Polres Kabupaten Magelang terhadap Terdakwa Mendy Saputra Bin Robert Frans melanggar ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dan BAP tersebut Batal Demi Hukum dan/atau dibatalkan
3. Menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa Mendy Saputra Bin Robert Frans dalam perkara pidana Nomor : 040 / Pid.B.Sus / 2011 / PN.Mkd, adalah Batal demi hukum dan/atau dibatalkan
4. Demi hukum, memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk segera mengeluarkan Terdakwa Mendy Saputra Bin Robert Frans dari tahanan


Demikianlah eksepsi/keberatan ini kami ajukan ke hadapan Yang Mulia Majelis Hakim pemeriksa perkara ini.


Atas perhatian serta terkabulnya eksepsi/keberatan yang kami ajukan ini kami ucapkan terima kasih dan bila ada kekurangan atau kesalahan didalamnya kami mohon maaf atas keterbatasan kami selaku manusia.


Mungkid; 02 Maret 2011
Penasihat Hukum Terdakwa
Mendy Saputra Bin Robert Frans




NOOR AUFA, SH