Sabtu, 17 Desember 2011

HUKUM YANG BERKEADILAN

Catatan Ringkas Penegakan Hukum Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang dianggap sebagai master piece anak bangsa dalam produk perundang-undangan, banyak pihak berahap penegakan hukum – khususnya hukum pidana – menuju ke arah yang lebih baik dan bermartabat. Penegakan hukum yang baik dan bermartabat diharapkan mampu memberikan keadilan bagi semua pihak dan golongan, yang tentunya bukan hanya bagi para korban dugaan tindak pidana melainkan juga keadilan dan perlindungan hak-hak hukum bagi setiap orang yang disangka dan/atau diduga melakukan suatu tindak pidana. KUHAP sendiri memberikan batasan sangat kuat untuk melindungi hak-hak tersangka dan/atau terdakwa agar tidak ada lagi tindakan aparatur penegak hukum yang tidak berperikemanusiaan dalam penanganan suatu dugaan tindak pidana. Semua ini berangkat dari pertimbangan bahwa pada dasarnya tersangka dan/atau terdakwa bukan sekedar obyek dalam penegakan hukum pidana melainkan salah satu subyek hukum pidana itu sendiri. Selain itu, hal ini sangat erat kaitan dengan asas hukum pidana yang menegaskan “seorang tersangka/terdakwa tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” atau dikenal dengan istilah “praduga tidak bersalah” sehingga dirasa perlu aturan hukum acara yang mampu memberikan perlindungan fundamental terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Diperlukannya produk perundang-undangan untuk melindungi hak-hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana merupakan prinsip yang harus selalu dikedepankan guna tercapainya keseimbangan posisi antara para pihak dalam perkara pidana untuk menghasilkan putusan yang berkeadilan. Meski demikian, pemenuhan hak-hak fundamental tersangka/terdakwa bukanlah dasar untuk memberikan kebebasan tersangka/terdakwa dan kemudian akan menimbulkan kerugian terhadap korban atau keseimbangan masyarakat itu sendiri. Namun, kenyataan dilapangan tidaklah seindah untaian kata-kata serta buaian manis pasal-pasal KUHAP. Ternyata, masih banyak praktek penegakan hukum dalam proses peradilan pidana yang sangat mengabaikan hak-hak tersangka/terdakwa hingga saat ini. Padahal, proses hukum yang adil dalam system peradilan pidana ibarat 2 (dua) sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Bahwa proses hukum yang adil merupakan jiwa atau ruh dari system peradilan pidana yang ditandai dengan perlindungan secara penuh terhadap hak-hak asasi manusia termasuk dalam hal ini adalah hak-hak asasi tersangka/terdakwa. Akibat belum berjalan proses hukum yang adil dalam peradilan pidana, masyarakat pencari keadilan secara terus menerus tidak lagi percaya terhadap institusi hukum. Ujung-ujungnya, saat ini beberapa masyarakat mulai menampakkan serta memberikan tekanan pada institusi penegak hukum baik itu kepolisian, kejaksaan, peradilan dan advokat. Tekanan yang diberikan masyarakat bisa berlangsung dalam skala kecil hingga skala besar dengan melakukan pelecehan terhadap proses persidangan ataupun pengrusakan kantar-kantor institusi penegak hukum yang dianggap sebagai representasi penegak hukum. Hal ini karena makin kuatnya rasa kecewa pencari keadilan akibat tindakan aparatur penegak hukum yang telah menjauh dari nilai keadilan. Pada dasarnya, dalam penegakan hukum pidana selalu ada 2 (dua) aspek yang saling berbenturan yaitu aspek individu dengan aspek kepentingan umum. Pada kepentingan individu akan selalu menghendaki adanya kebebasan pribadi tapi disisi lain aspek kepentingan umum menghendaki terciptanya social orde sebagaimana termaktub dalam aturan hukum. Dengan perbenturan dua aspek ini, sangat diperlukan harmonisasi guna terciptanya keseimbangan menuju ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini, idealnya pada suatu proses peradilan pidana, penegak hukum haruslah mempertimbangkan tujuan hukum itu sendiri yaitu; kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Tapi, kenyataannya agar terpenuhinya ketiga tujuan hukum ini sangat mustahil karena seringnya perbenturan antara masing-masing tujuan hukum tersebut. Untuk itu, diperlukan aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, peradilan dan advokat) yang mampu berpikir serta bertindak holistic dan bukan sekedar corong undang-undang yang malah melupakan pokok dari hukum itu sendiri. Untuk mewujudkan aparatur penegak hukum yang berpikir dan bertindak holistic bukanlah pekerjaan mudah karena telah berurat dan berakarnya pola pikir aparatur penegak hukum yang jauh dari nilai-nilai holistic. Dalam hal ini, diperlukan aparatur penegak hukum dengan mentalitas baik serta selalu menjunjung tinggi sumpah profesinya masing-masing. Bagaimanapaun baiknya produk perundang-undangan tanpa mentalitas baik aparatur penegak hukum maka penegakan hukum yang bermartabat dan berkeadilan tidak akan pernah mampu diwujudkan dan hanya sekedar menjadi teori perkuliahan semata di bangku-bangku fakultas hukum negeri ini. Adagium hukum telah jelas menggambarkan hal ini “perudang-undangan yang baik dengan aparatur penegak hukum yang jelek maka akan menghasilkan penegakan hukum yang jelek pula serta perundang-undangan yang jelek dengan aparatur penegak hukum yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang baik”. Tapi, alangkah lebih baiknya apabila kita semua mampu mewujudkan “perundang-undangan yang baik dengan penegak hukum yang baik demi terwujudnya penegakan hukum yang bermartabat dan berkeadilan”.