Jumat, 20 November 2009

Court Of The Heliast

Court Of The Heliast, merupakan suatu sejarah kelam dalam dunia peradilan yang dicatatkan oleh Athena sebagai salah satu negeri paling demokratis di zamannya. Ternyata, meski Athena sebagai suatu negeri yang paling demokratis kala itu, memberikan catatan paling kelam dan hitam dalam tinta sejarah peradilan, dimana tujuan utama dari hukum berupa keadilan, tercabik-cabik hanya demi mencapai tujuan sesaat dan kepentingan beberapa gelintir manusia saja. Hukum, kemudian dijadikan senjata paling ampuh untuk menjustifikasi sebuah proses merampas nilai-nilai keadilan itu sendiri.
CTH sendiri, merupakan peradilan terhadap Socrates yang kala itu berumur 70 tahun dan dihadapkan ke depan sidang pengadilan Athena dengan jumlah hakim sebayak 501 orang. Adapun penetapan jumlah ganjil dalam hitungan hakim ini guna menjamin adanya suatu putusan bersalah (guilt) atau tidak bersalah (innocence) bagi seorang terdakwa. Dan, dalam peradilan bagi Sorates ini, belia dituntut oleh penuduh yang berjumlah 3 (tiga) orang dengan tuntutan; Pertama; tidak mau menyembah dewa-dewa Yunani kala itu dan, Kedua; telah merusak pikiran generasi muda Yunani.
Untuk tuntutan tidak menyembah dewa-dewa Yunani, Socrates yakin akan dengan mudah menolak seluruh tuntutan yang diajukan kepadanya. Tapi, untuk tuntutan merusak pikiran generasi muda Yunani, Socrates sangati tidak yakin akan mampu keluar dengan status orang bebas dari ruang Penngadilan. Hal ini, tidak lain dan tidak bukan, karena tuntutan kedua ini menyangkut kondisi masyarakat Yunani yang sudah sangat antipati terhadap Socrates karena dengan adanya "pencerahan" yang diberikan Socrates terhadap kaum muda Yunani kala itu, menjadikan kaum muda Yunani sebagai orang-orang yang mampu berpikir kritis dan konstruktif dan selalu mengedepankan kebenaran dalam segala tindakannya. Hal ini ternyata menimnulkan kebencian pada kaum tua Yunani, karena kaum muda mereka sudah dianggap tidak mau mematuhi segala nasehat kaum tua yang ternyata disebabkan tidak logis dan tidak benarnya nasehat kaum tua tersebut.
Selain itu, kebencian sebagian besar cendekia dan para politikus Yunani terhadap Socrates juga disebabkan adanya suatu ramalan dari Kuil Apollo di Delphi yang menjelaskan baha Socrates adalah orang paling pintar di Yunani kala itu. Hal ini tentunya mengakibatkan politikus dan kaum cendeki Yunani lainnya merasa terancam dan mencoba untuk menjatuhkan posisi Socrates dengan menggunakan Hukum yang diwujudkan oleh suatu Peradilan yang tidak fair dan tidak mencoba menemukan nilai-nilai keadilan sejati.
Melalui konspirasi dan metode pemutarbalikkan fakta yang sedemikian rupanya, Socrates akhirnya diputus bersalah dan harus rela menerima kematian melalui putusan Peradilan yang seharusnya benar-benar memperjuangkan hukum dan keadilan. Inilah catatan hitam sejarah peradilan yang ternyata hingga kini masih sering kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat. Bukanlah seuatu yang ganjil bila kita menyaksikan bagaimana Hukum dan Peradilan menjadi alat oleh penguasa atau pemilik modal guna menjungkirbalikkan fakta-fakta yang sebenarnya dan guna menacapai ketidakadilan itu sendiri.
Inilah gambaran dari suatu Miscarriage of Justice yang ternyata di negeri masih menjadi hal lumrah dan biasa. Bagaimana, hukum melalui aparaturnya yang dilegitimasi oleh negara seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan sehingga cenderung menghasilkan putusan peradilan yang benar-benar jauh dari nilai-nilai keadilan. Padahal, bila bicara tentang hukum sendiri, maka peradilan merupakan "gerbang utama" guna memperoleh keadilan itu sendiri. Saat sauatu produk perundang-undangan tidak mampu memberikan rasa keadilan, maka seharusnya peradilan melalui majelis hakimnya harus mampu menerobos dan membentuk suatu yurisprudensi baru dengan analisa yang tepat dan baik guna memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
Tapi, melihat kondisi dari aparatur penegak hukum yang ada di Indonesia saat (baik itu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan maupun Advokat), langkah menuju keadilan sejati dalam dunia hukum mungkin masih memerlukan jalan panjang yang harus melewati berbagai aral yang melintang. Kan begitu banyak tikungan tajam yang tepinya penuh dengan jurang yang cukup dalam menuju suatu penciptaan lembaga-lembaga hukum yang benar-benar memegang Sumpah Profesi dan memperjuangkan keadilan seutuhnya. Tapi, hal ini bukan tidak mungkin dilaksanakan di negeri yang kini keadilan seakan menjadi barang mahal dan tidak mampu diraih rakyatnya.
JUSTITIA VOOR IEDEREN............

Jumat, 10 Juli 2009

Hanya Sebuah Kisah

Last day; aku menerima konsultasi dari seseorang yang telah menerima pelayanan dari seorang Advokat dan telah pula membayar jasa Advokat berupa sejumlah uang senilai Rp 20 juta. Mungkin, bagi beberapa kalangan Advokat jumlah uang segini tidak seberapa dan bisa didapatkan hanya dalam waktu sekejap belaka. Tapi, bagi masyarakat yang telah menyetorkan uang tersebut yang hanya berprofesi sebagai petani, uang sejumlah demikian bukanlah uang yang sedikit.
Seiring dengan telah ditandatanganinya Surat Kuasa Khusus (SKK) dengan Advokat tersebut, sang klien hanya menunggu dan menunggu agar kasus yang dialaminya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan yang ditumpukan kepada sang Advokat. Tapi, apa lacur, ternyata setelah menunggu lebih dari 2 bulan, sang Advokat sama sekali tidak tidak menyinggung apalagi menyelesaikan kasus hukum yang dihadapinya. Bahkan,s ang Advokat sama sekali tidak pernah menghubunginya lagi.
Karena kondisinya yang sudah mulai terdesak karena kasus ini berhubungan dengan masalah pidana, dimana sang klien bisa dilakukan penahanan oleh Kepolisian, maka sang klien mencoba untuk menghubungi sang Advokat tersebut.
Namun jawaban yang diterima oleh sang klien sama sekali tidak memuaskan dirinya. Sang Advokat sama sekali tidak mau menangani perkaranya tersebut dan ternyata selama ini perkara tersebut tidak tersentuh oleh Sang Advokat.
Sang Klien pun meradang dan mencoba untuk meminta uangnya kembali, ataupun kalau tidak kembali seutuhnya, minimal uang tersebut bisa kembali separuhnya saja (atau Rp 10 juta) agar sang Klien dapat mencari Advokat lain guna menangani dan mengurus kasusnya tersebut.
Namun bukannya uang yang telah disetor kepada Sang Advokat tersebut malah sang Advokat menjawab," Anda masih memiliki hutang kepada saya. Anda terdiri dari 6 orang dan satu suratk kuasa saya senilai Rp 5 juta, jadi Anda masih memiliki hutang sebesar Rp 10 juta,".
Terkejut sang klien mendengarnya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi pada dirinya. apakah seperti ini kerjaan Advokat yang hanya memeras dan memenfaatkan permasalahan masyarakat demi keuntungan pribadinya belaka.
Apa lacur, harapan uang kembali dari sang advokat sama sekali tidak terpenuhi dan akhirnya sang klien hanya mampu berjalan gontai pulang ke rumahnya kembali.
Akhirnya sang klien menemui saya dan menceritakan semua ini serta meminta jalan keluarnya terbaik kepada saya.
Saya menyebutkan apakah dia menerima tanda terima uang dari Sang Advokat dan adakah saksi waktu penyerahan uang tersebut. Kembali lacur, ternyata uang yang diserahkan tersebut sama sekali tanpa tanda terima dan tidak ada saksi sama sekali.
Akhirnya aku hanya menyebutkan kepada Sang Klien tersebut, terlalu susah untuk memperkarakan si Advokat Nakal karena tidak ada bukti sama sekali, padahal kalau kita ingin melaporkan Advokat Nakal tersebut minimal kita memiliki dua alat bukti dan minimal pula harus memiliki 2 (dua) orang saksi yang melihat langsung.
Akhirnya Sang Klien ini hanya pasrah dan menerima begitu saja nasib yang menimpa dirinya.
Oh, kasihannya nasibmu Sobat. Maafkan daku tidak bisa membantumu secara maksimal.
JUSTITIA VOOR IEDEREN

Sabtu, 04 Juli 2009

PILPRES Sebuah Kegamangan Politik Negeriku

Beberapa hari lagi PILPRES akan berlangsung dan hanya menunggu hari. Dari ketiga calon yang mengunggulkan diri masing-masing, terlihat sekal program yang ditawarkan tidak jauh berbeda dengan program-program yang pernah ditawarkan oleh beberapa pasangan capres yang maju untuk merebut TAHTA RI 1 dan RI 2 sejak Reformasi di negeri ini bergulir. Dan setiap kali pula, janji-janji yang diucapkan hanya tinggal sebuah janji tanpa mampu memberikan hasil maksimal bagi kepentingan dan kemaslahatan rakyat.
Hukum tetap menjadi satu bagian yang tidak tersentuh secara maksimal - kalau tidak ingin dikatakan ditinggalkan- dari berbagai pilihan seperti politik dan ekonomi. Dan, hukum seakan hanya menjadi semacam alat bagi legitimasi kekuasaan dan kepentingan ekonomi sesaat belaka.
Padahal, berbicara mengenai kehidupan ketatanegaraan, maka HUKUM adalah sebuah pilihan mutlak untuk dijadikan PANGLIMA. Ketika HUKUM hanya menjadi sub ordinasi dari politik dan atau eknomi, maka percayalah bahwa KEJAYAAN suatu bangsa hanya akan tinggal cerita belaka.
Cukup sudah Orde Lama yang menjadikan POLITIK sebagai PANGLIMA terkubur dalam ingatan dan kenangan sejarah belaka dan menjadi pelajaran belaka.
Jangan diulangi kembali Orde Baru yang menjadikan EKONOMi sebagai PANGLIMA dan biarkan terkubur bersama Para Pahlawan Reformasi yang telah mengorbankan jiwa dan raganya.
Kini, saatnya HUKUM mengambil peran sebagai PANGLIMA. Tapi mungkinkah hal ini terjadi?
Atau ini semua hanya Mimpi Belaka......
Catatan ini tidak ingin mendiskreditkan masing-masing capres yang maju dalam PILPRES 2009 ini, tapi hanya sekedar pikiran sesaat anak bangsa yang melihat carut marut politik di negeri ini sudah berada pada titik nadir yang kemungkinan besar akan membawa bangsa ini "MATI SURI".....
PEACE.....

Minggu, 17 Mei 2009

ASA PENDIDIKAN

Pendidikan sebagai proses pembelajaran generasi penerus bangsa memegang peran penting dalam antisipasi perubahan dan ancaman bangsa ke depan. Melalui pendidikan, diharapkan melahirkan generasi dengan kemampuan analisa dan pola pikir terbaik dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Pendidikan merupakan kunci kesuksesan menghadapi tantangan kehidupan yang semakin lama semakin rumit. Karena pentingnya pendidikan, berbagai upaya dilakukan segenap lapisan untuk melahirkan pendidikan baik dan berkwalitas. Khusus untuk Indonesia, pola pendidikan dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi telah beberapa kali mengalami perubahan guna menemukan format ideal sesuai dengan jiwa dan semangat masyarakatnya.
Namun demikian, meski beberapa kali mengalami perubahan, kecenderungan pendidikan Indonesia belum mampu menciptakan generasi penerus yang kuat dan tangguh menghadapi berbagai perubahan dan tantangan. Bahkan, kecenderungan yang terjadi saat ini adalah gamangnya peserta didik menghadapi berbagai tantangan global. Banyak peserta didik merasa seperti boneka yang harus memenuhi kehendak guru tanpa mampu menuangkan ide dan pemikiran sendiri. Akibatnya, peserta didik menjadi “gerombolan manusia” yang hanya berusaha mencapai hasil maksimal nilai mata pelajaran serta lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) sebagai pencapaian prestasi tanpa memperhatikan cara bagaimana memperoleh prestasi.
Proses pendidikan yang sekedar mengejar nilai formal, mengakibatkan peserta didik menjadi “robot” yang bekerja dan berjalan secara mekanikal dan kehilangan “jiwa” sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari seorang manusia. Lambat laun, peserta didik kehilangan semangat kebangsaan seperti sering kita lihat dalam perkembangan pelajar terkini. Apabila hal ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin keinginan segenap lapisan masyarakat untuk menatap kejayaan bangsa tinggal mimpi karena digerogoti sendiri oleh generasi penerusnya akibat rancunya sistem pendidikan nasional yang kita terapkan.
Apa dan bagaimana menyikapi perkembangan pendidikan Indonesia saat ini?
Melihat pola kehidupan masyarakat Indonesia yang kental dengan nilai budaya local selain “budaya impor”, tentunya memerlukan pemikiran strategis dalam upaya menemukan system pendidikan bermutu yang berbasis budaya local. Proses pembelajaran – baik formal maupun informal- sudah seharusnya berusaha untuk mencapai nilai kemanusiaan yang menjadi inti pokok kehidupan. Pola pendidikan, selain mengambil alih pola pendidikan “impor” yang selama ini selalu diterapkan, semestinya dilebur dengan system pendidikan local yang sudah makin memudar dalam kehidupan masyarakat di negeri ini.
Alur dan proses dengan memadukan system “impor” dengan pola pendidikan local diharapkan dapat terlaksana dalam upaya menemukan jati diri sebaga inti kehidupan. Kecenderungan selama ini, pola pendidikan “impor” yang diterapkan tidak mampu menciptakan generasi penerus yang kuat dan mapan menatap masa depan. Generasi dari system pendidikan “impor” cenderung melahirkan generasi yang terkontaminasi pola konsumerisme dan materialism yang lambat laun menjadi generasi hedonis. Akhirnya, generasi yang menjadi tulang punggung bangsa tidak lebih dan tidak bukan adalah generasi yang diciptakan menjadi “robot” dan tidak mampu menyentuh esensi kemanusiaan.
Pola pendidikan dengan penyatuan system “impor” dengan pendidikan local diharapkan mampu melahirkan manusia yang kenal akan dirinya. Dengan munculnya generasi yang kenal akan dirinya, maka generasi tersebut akan mengenal Tuhannya dan ketika mengenal Tuhan, setiap manusia akan mengenal lingkungannya dengan baik dan bijak. Seorang manusia yang mengenal lingkungan dengan baik dan bijak akan berusaha melahirkan prestasi yang terbaik bagi alam dan lingkungannya. Melalui pola ini, diharapkan generasi yang terlahir bukan sekedar generasi “robot” yang mengejar keberhasilan dan kesuksesan semu dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan dalam menjaga kelangsungan lingkungan. Tapi, dengan pola ini akan terlahir generasi yang memiliki kemampuan untuk melihat kesuksesan sebagai sebuah pencapaian prestasi yang menyeluruh dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan lingkungannya.
Generasi yang telah memiliki kemapanan dalam menatap setiap persoalan dengan pendekatan “kejiwaan dan kemanusiaan”, tentu akan melahirkan pola dengan pendekatan moral dan humanity guna merancang pembangunan bangsa ke depan. Melaui generasi ini, diharapkan dongeng indah anak negeri tentang Civil Society yang saat ini terus diperdengarkan tentu akan terwujud sebagaimana mestinya. Generasi inilah yang kelak mampu mengembalikan kejayaan sebagaimana yang pernah kita rasakan beratus-ratus tahun lalu saat bangsa ini masih terbentuk dalam suatu system kerajaan baik itu di masa majapahit, sriwijaya, pasai atau pun kerajaan lainnya. Tanpa generasi yang mengenal diri dan lingkungan, mimpi besar untuk meraih kejayaan tinggal cerita pengantar tidur balita.

Kamis, 23 April 2009

ABOUT ME

JUSTITIA VOOR IEDEREN
(Keadilan Untuk Semua)


Advokat yang menjadi salah satu penggagas berdirinya PERADI Cabang Kota Magelang dan kini dipercaya menjadi salah satu pengurus PERADI Cabang Magelang, lahir di Bangkinang 11 Desember 1977 (Riau). Dengan darah campuran Melayu Riau dan Minangkabau, dalam dirinya melekat nilai budaya yang tertuang dalam Gurindam 12 Raja Ali Haji dan Petatah Petitih Minangkabau.
Di kota kelahirannya, Aufa kecil menetap dan menempuh pendidikan hingga SMP. Selepas SMP Negeri 2 Bangkinang, melanjutkan pendidikan ke SPP Perikanan Dumai, yang dijalani sekitar 8 bulan dan memutuskan untuk keluar akibat tidak sesuai dengan cara dan metode pendidikan yang diterapkan, dimana banyak terjadi tindak kekerasan terhadap pelajar tingkat I yang dilakukan Pelajar Tingkat II dan Tingkat III. Namun demikian, nilai plus dari SPP Perikanan Dumai adalah nilai kedisiplinan tetap menjadi nilai yang dipegang hingga saat ini.
Keluar dari SPP Perikanan Dumai, pindah ke SMA Rusqoh Islamiyah Pekanabaru yang dijalani sekitar 1 (satu) bulan dan langsung pindah ke SMA Negeri 1 Bangkinang. Di SMA Negeri 1 Bangkinang, ternyata Aufa remaja pun tidak dapat menemukan apa yang dicari dan hanya menjalani pendidikan sekitar 5 bulan, untuk kemudian pindah ke SMA Negeri 2 Dumai.
Saat menempuh pendidikan di SMA Negeri 2 Dumai, mulai kenal dan dekat masyarakat kecil yang hidup di sekitar pelabuhan dan manjalani pekerjaan sebagai nelayan, buruh angkat maupun tukang becak. Disini, gejolak jiwa mudanya berontak melihat, mendengar dan menyaksikan bagaimana bangsa besar ini ternyata sering melupakan keberadaan dan arti penting rakyat kelas bawah.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 2 Dumai, kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang (FH-Unand) dan menyelesaikan SH-nya pada tahun 2001. Selama menjadi mahasiswa, aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus, seperti Fokusmaker, Himpunan Pelajar Mahasiswa Riau (HIPEMARI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) dan Aliansi Mahasiswa Untuk Reformasi (AMUR), Forum Komunikasi Mahasiswa Sumatera Barat (FKMSB), Lembaga Advokassi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan (LAM & PK) dan organisasi lainnya.
Ketika pergerakan mahasiswa 1998, turut ambil bagian dalam aktifitas demonstrasi dan pengkajian keilmuan mengenai arah dan pergerakan Indonesia menuju 2028.
Selama menjadi aktivis mahasiswa, sering melakukan pembelaan terhadap kasus-kasus masyarakat kecil yang berhadapan dengan kekuasaan. Kesan mendalam yang hingg kini melakat saat menangani perampasan Hak Ulayat masyarakat Nagari Mungo Sumatera Barat yang harus berhadapan dengan Departemen Pertanian yang didukung aparat Kepolisiant. Masyarakat Nagari Mungo yang sebagian besar awam hukum dan tidak memiliki kekuatan selain teriakan dan jeritan belaka, mengetuk hatinya dan beberapa rekan yang tergabung dalam LAM & PK untuk ikut membantu. Pertama kali menangani perkara ini, ternyata telah terjadi suatu “ketakutan” di lingkuangan Nagari Mungo akibat tindakan represif negara berupa penangkapan dan penahanan tanpa prosedure hukum dan tindak kekerasan negara lain berupa pelanggaran HAM warga.
Setelah turunnya Soeharto dari tampuk kepresidenan, sering mendapat tawaran untuk bergabung dengan berbagai parpol yang muncul seperti “cendewan setelah musim hujan”. Tapi, keinginan kuat dalam dirinya yang tidak terlalu memikirkan kekuasaan dan jabatan, mengantarkan dirinya untuk mengabdi dalam dunia jurnalistik. Beberapa media pernah disinggahi untuk “menyuarakan” derita rakyat seperti Haluan di Padang, Pekanbaru Pos di Riau dan Tabloid Mentari di Riau.
Gejolak dalam jiwa yang terus “menghantui” hari-hari membuatnya “banting stir” untuk terjun secara penuh dalam dunia hukum. Bukan hakim atau jaksa yang dipilih. Advokat – inilah dunia yang dirasa harus dibenahi dan dipegang kuat demi mencapai nilai-nilai kebenaran dan keadilan secara menyeluruh. Hal ini didasarkan atas pemikiran setiap proses persidangan haruslah diimbangi dengan hadirnya seorang advokat yang mampu melihat setiap kasus berdasarkan nilai-nilai obyektif.
Disadari, jaksa berada dalam posisi yang subyektif dengan penilaian yang subyektif dan hakim pada posisi yang obyektif dengan penilaian yang obyektif, maka dibutuhkan satu sisi lagi yang harus diisi berupa pihak yang mampu berada pada posisi yang subyektif dengan penilaian obyektif. Ketika tiga sisi ini mampu berjalan maksimal, maka JUSTITIA VOOR IEDEREN benar-benar akan terwujud dan bukan hanya “mimpi syurgawi” bagi seluruh kalangan.
Kini, setelah menikah dengan Sri Rejeki Rahayuningsih,A.Md, pada tahun 2005 dan diamanatkan Allah, SWT seorang anak Mullasheyla Quratu’aini pada tahun 2007, akhirnya menetapkan hidupnya untuk bertempat tinggal di Kota Magelang setelah sejak tahun 1993 sering melanglangbuana ke berbagai daerah demi tujuan yang diyakini dalam membela masyarakat untuk mencapai keadilan seutuhnya.
Bersama beberapa rekan advokat dan masyarakat yang peduli dengan penegakan hukum seutuhnya mendirikan sebuah firma hukum dengan nama RAMA Law Firm yang berlamat di Jalan Rama No 22 Bogeman Kota Magelang, 56111, Telp (0293) 5587482 dan dipercaya sebagai Managing Partners.

TIPS MEMILIH ADVOKAT/LAWYER

Tips Memilih (Advokat/Pengacara) Yang Profesional

Proses memilih Advokat/Pengacara (Perusahaan Konsultan / Kantor Konsultan) sesuai dengan kebutuhan hukumnya adalah hampir sama dengan proses memilih Dokter, Akuntan, Notaris, Arsitek dan pekerja profesional lainnya. Tentu dengan menjamin profesionalisme dalam pekerjaannya, seorang Jasa Perizinan Advokat/Pengacara harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi klien, sehingga klien dapat menilai dan percaya akan kwalitas kerja si Advokat/Pengacara. Perlu kehati-hatian dan ketelitian klien dalam memilih Jasa Perizinan dan menentukan Advokat/Pengacara untuk menangani urusan hukumnya. Agar tidak keliru dalam memilih Advokat/Pengacara yang dibutuhkan, perlu ditempuh beberapa tips di bawah ini :
1. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tersebut benar-benar nerupakan Advokat/Pengacara resmi yang memiliki izin praktek yang masih berlaku, bukan pengcara “gadungan” atau ”Pokrol”.
2. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara memiliki kwalifikasi yang baik dalam bidang hukum tersebut.
3. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tidak memiliki konplik kepentingan (conflict interest) dalam kasus yang ditangani.
4. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tidak akan melakukan kongkalikong dengan pihak lawan atau Advokat/Pengacara pihak lawan.
5. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tersebut memiliki track record yang baik dalam keAdvokat/Pengacaraan(Perusahaan Konsultan / Kantor Konsultan), termasuk menyangkut etika, moral dan kejujurnnya.
6. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tersebut tidak pernah terlibat dalam malpraktek hukum.
7. Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara adalah type pekerja keras dan berdedikasi tinggi akan profesinya serta benar berkerja demi kepentingan kliennya, bukan Advokat/Pengacara yang hanya pintar bicara lalu minta bayaran tetapi tidak becus membela kepentingan kliennya.
8. Jika anda ragu akan kredibiltas seorang Advokat/Pengacara, mintakanlah foto copy Izin Praktek Advokat yang bersangkutan (berwarna merah) yang diterbitkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (dalam waktu dekat akan diganti dengan diterbitkan oleh PERADI), bukan kop suratnya, atau mintalah informasi tentang si Advokat/Pengacara tersebut lagsung kepada asosiasi-asosiasi Advokat/Pengacara resmi yang diakui oleh undang-undang yaitu : Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
9. Bahwa, jika anda diperlakukan tidak sepatutnya oleh oknum Advokat/Pengacaraa, maka anda dapat melaporkan yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM).

Senin, 20 April 2009

UU KDRT

UU Penghapusan KDRT; Sebuah Dilema Rumah Tangga

Membaca judul tulisan ini, mungkin banyak orang yang tidak setuju terlebih lagi para pendukung keberadan UU Penghapusan KDRT yang telah memakan banyak “korban” dalam penegakan hukumnya. Ya, UU Penghapusan KDRT yang dilahirkan pada tahun 2004 lalu memiliki tujuan untuk mencegah dan / atau meminimalkan terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga ternyata telah menjadi senjata “ampuh” bagi “pelaku yang menjadi korban” untuk memidanakan “korban yang jadi pelaku”. Dari dua susunan kata disini, “pelaku yang menjadi korban” dan “korban yang menjadi pelaku” menjadi sebuah kenyataan di lapangan seiring proses penegakan dan penanganan UU Penghapusan KDRT dalam lingkup pemidanaannya. Hanya sedikit sekali penegakan hukum UU Penghapusan KDRT menyentuh esensi awal tujuan dilahirkan undang-undang tersebut seperti termaktub dalam penjelasannya dengan menyebutkan untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dengan jalan melakukan pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga
Pada pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT sendiri disebutkan pembaharuan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Benarkah keberadaan undang-undang lain sebelum lahirnya UU Penghapusan KDRT belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum? Apakah ini merupakan suatu pernyataan yang sesuai dengan kondisi dalam kehidupan masyarakat ataukah hanya sebuah pernyataan untuk menjustifikasi lahirnya UU Penghapusan KDRT demi memenuhi keinginan kelompok-kelompok kepentingan tertentu belaka?
Pertanyaan ini perlu di jawab secara jujur oleh semua pihak karena tujuan awal dari keberadaan UU Penghapusan KDRT ternyata menimbulkan permasalahan baru dalam penegakan dan pengananan hukumnya. Terlihat jelas, dalam setiap penanganan perkara KDRT (- yang biasanya ditangani oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak pada Kepolisian-) sama sekali tidak menyentuh esensi keadilan, baik itu bagi korban maupun pelaku KDRT. Banyak kenyataan di lapangan, pelaku yang kemudian dilaporkan atau diadukan melakukan tindak pidana KDRT ternyata pada awalnya merupakan korban dari jenis tindak pidana KDRT lainnya yang dilakukan oleh korban yang sebenarnya adalah pelaku awal dari sebuah proses kelahiran serangkaian KDRT dalam lingkup rumah tangganya.
Hal ini terlihat dari beberapa contoh kasus yang pernah ditangani penulis, dimana seorang pelaku KDRT yang dilaporkan kepada aparat kepolisian ataupun LSM Pendamping ternyata adalah seorang korban dari tindak pidana KDRT jenis lainnya. Tapi, karena kondisi terlapor/teradu adalah seorang suami (-yang notabenenye menyandang prediket sebagai seorang laki-laki yang katanya tidak boleh mengeluh dan menangis-), maka ketika terjadi KDRT terhadap dirinya yang dilakukan seorang isteri, sang terlapor/teradu sering mendiamkannya dan mencoba untuk berdiri tegar dengan tekad bahwa inilah rumah tanggaku dan inilah wanita pilihanku yang memang kujadikan seorang isteri.
Namun demikian, karena makin memuncaknya tekanan psikis akibat kehidupan rumah tangga sang terlapor/teradu yang tidak menentu, kemudian pada suatu saat sang terlapor/teradu melakukan tindakan pemukulan sebagai upaya melakukan pengajaran terhadap isterinya untuk tidak berbuat atau bertindak yang tidak patut dalam lingkup rumah tangga dan masyarakat. Tapi apa lacur, tujuan awal memukul isteri untuk memberikan pengajaran berujung petaka bagi sang suami karena sang isteri kemudian melaporkan / mengadukan sang suami ke aparat kepolisian dengan sangkaan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur oleh UU Penghapusan KDRT.
Sesaat setelah laporan / pengaduan sang isteri diterima aparat kepolisian, kemudian sang suami dipanggil untuk memberikan keterangan tentang tindak pidana yang dilaporkan/diadukan tersebut. Namun demikian, pada saat memberikan keterangan dihadapan penyidik, sang suami berada dalam posisi “yang bersalah” karena ungkapan dan kata-kata yang diungkapkan oleh penyidik lebih sering menyudutkan posisi terlapor/teradu dan bukan untuk menemukan tindak pidana yang sesungguhnya. Hal ini mengakibatkan tekanan yang cukup berat bagi terlapor/teradu karena sebagai seorang suami yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan isteri ke arah yang lebih baik ternyata telah “dihambat” oleh undang-undang yang seharusnya memberikan keadilan bagi semua pihak.
Ya, inilah dilema dalam penegakan UU Penghapusan KDRT. Banyak peristiwa dalam lingkup KDRT terjadi pada posisi “terlapor / teradu” sebenarnya adalah “korban” dari suatu rangkaian kekerasan dalam rumah tangganya sendiri. Hal ini tentunya harus disikapi secara arif dan bijaksana oleh semua pihak, terutama sekali pihak yang berhubungan langsung dengan penanganan kasus-kasus KDRT, terutama sekali aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan juga para praktisi hukum lainnya untuk melihat secara jernih setiap permasalahan KDRT yang ditanganinya.
Untuk itu, dalam penanganan kasus-kasus KDRT (baik itu aparat kepolisian maupun LSM pendamping) harus mencoba untuk menelisik kasus-kasus KDRT yang ditangani dengan jalan melihat proses sebab - musabab – dan akibat dari suatu tindak pidana KDRT. Suatu tindak pidana – dalam bentuk apa pun- tidak akan pernah terlepas dari suatu proses sebab – musabab – dan akibat. Dalam hal ini, terjadinya suatu tindak pidana dimulai dari suatu sebab yang kemudian melahirkan musabab dan terakhir memunculkan akibat akhir sebagai suatu tindak pidana. Dengan proses penanganan perkara seperti ini, diharapkan sekali setiap penanganan kasus-kasus KDRT dapat menyentuh esensi keadilan bagi semua pihak, baik itu pelaku yang menjadi korban ataupun korban yang menjadi pelaku.
Diakui memang, tidak semua pelaku menjadi korban dalam suatu dugaan tindak pidana KDRT, tetapi hal ini sangat sering terjadi pada kasus-kasus yang dilaporkan kepada aparat kepolisian karena setiap kasus yang dilaporkan tersebut rata-rata dilaporkan oleh pihak yang mengerti akan undang-undang ini dengan baik dan menjadikan undang-undang sebagai tameng untuk memidanakan “pelaku yang menjadi korban”. Sementara itu, kasus-kasus KDRT yang memiliki dampak besar dalam lingkup kehancuran rumah tangga sering tidak terlaporkan karena adanya ketakutan dari korban yang benar-benar sebagai korban akibat ketakutan karena sikap pelaku yang memang sangat melebihi batas kewajaran dan kemanusiaan. Akhirnya, pihak yang memperoleh keuntungan dari proses penanganan yang tidak menyeluruh ini adalah pihak yang menggunakan kekuatan UU Penghapusan KDRT sebagai upaya mencari keuntungan sesaat, baik itu keuntungan materil maupun non materil.
Satu hal yang pasti, selama penanganan KDRT masih memihak pada “korban yang menjadi pelaku”, maka efektifitas keberadaan undang-undang tidak akan menyentuh esensi awal dari dilahirkannya undang-undang Penghapusan KDRT. Tindak kekerasan dalam rumah tangga memang suatu hal yang harus diminimalisir ataupun dihilangkan dalam lingkup rumah tangga di Indonesia guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi semua pihak. Tapi, jangan sampai dengan undang-undang yang punya tujuan mulia ini malah menjadi sebuah dilema baru dalam menjalankan kehidupan rumah tangga karena hilang atau hancurnya posisi sang suami sebagai pengayom, pendidik dan pelindung dalam rumah tangga.