Senin, 20 April 2009

UU KDRT

UU Penghapusan KDRT; Sebuah Dilema Rumah Tangga

Membaca judul tulisan ini, mungkin banyak orang yang tidak setuju terlebih lagi para pendukung keberadan UU Penghapusan KDRT yang telah memakan banyak “korban” dalam penegakan hukumnya. Ya, UU Penghapusan KDRT yang dilahirkan pada tahun 2004 lalu memiliki tujuan untuk mencegah dan / atau meminimalkan terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga ternyata telah menjadi senjata “ampuh” bagi “pelaku yang menjadi korban” untuk memidanakan “korban yang jadi pelaku”. Dari dua susunan kata disini, “pelaku yang menjadi korban” dan “korban yang menjadi pelaku” menjadi sebuah kenyataan di lapangan seiring proses penegakan dan penanganan UU Penghapusan KDRT dalam lingkup pemidanaannya. Hanya sedikit sekali penegakan hukum UU Penghapusan KDRT menyentuh esensi awal tujuan dilahirkan undang-undang tersebut seperti termaktub dalam penjelasannya dengan menyebutkan untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dengan jalan melakukan pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga
Pada pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT sendiri disebutkan pembaharuan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Benarkah keberadaan undang-undang lain sebelum lahirnya UU Penghapusan KDRT belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum? Apakah ini merupakan suatu pernyataan yang sesuai dengan kondisi dalam kehidupan masyarakat ataukah hanya sebuah pernyataan untuk menjustifikasi lahirnya UU Penghapusan KDRT demi memenuhi keinginan kelompok-kelompok kepentingan tertentu belaka?
Pertanyaan ini perlu di jawab secara jujur oleh semua pihak karena tujuan awal dari keberadaan UU Penghapusan KDRT ternyata menimbulkan permasalahan baru dalam penegakan dan pengananan hukumnya. Terlihat jelas, dalam setiap penanganan perkara KDRT (- yang biasanya ditangani oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak pada Kepolisian-) sama sekali tidak menyentuh esensi keadilan, baik itu bagi korban maupun pelaku KDRT. Banyak kenyataan di lapangan, pelaku yang kemudian dilaporkan atau diadukan melakukan tindak pidana KDRT ternyata pada awalnya merupakan korban dari jenis tindak pidana KDRT lainnya yang dilakukan oleh korban yang sebenarnya adalah pelaku awal dari sebuah proses kelahiran serangkaian KDRT dalam lingkup rumah tangganya.
Hal ini terlihat dari beberapa contoh kasus yang pernah ditangani penulis, dimana seorang pelaku KDRT yang dilaporkan kepada aparat kepolisian ataupun LSM Pendamping ternyata adalah seorang korban dari tindak pidana KDRT jenis lainnya. Tapi, karena kondisi terlapor/teradu adalah seorang suami (-yang notabenenye menyandang prediket sebagai seorang laki-laki yang katanya tidak boleh mengeluh dan menangis-), maka ketika terjadi KDRT terhadap dirinya yang dilakukan seorang isteri, sang terlapor/teradu sering mendiamkannya dan mencoba untuk berdiri tegar dengan tekad bahwa inilah rumah tanggaku dan inilah wanita pilihanku yang memang kujadikan seorang isteri.
Namun demikian, karena makin memuncaknya tekanan psikis akibat kehidupan rumah tangga sang terlapor/teradu yang tidak menentu, kemudian pada suatu saat sang terlapor/teradu melakukan tindakan pemukulan sebagai upaya melakukan pengajaran terhadap isterinya untuk tidak berbuat atau bertindak yang tidak patut dalam lingkup rumah tangga dan masyarakat. Tapi apa lacur, tujuan awal memukul isteri untuk memberikan pengajaran berujung petaka bagi sang suami karena sang isteri kemudian melaporkan / mengadukan sang suami ke aparat kepolisian dengan sangkaan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur oleh UU Penghapusan KDRT.
Sesaat setelah laporan / pengaduan sang isteri diterima aparat kepolisian, kemudian sang suami dipanggil untuk memberikan keterangan tentang tindak pidana yang dilaporkan/diadukan tersebut. Namun demikian, pada saat memberikan keterangan dihadapan penyidik, sang suami berada dalam posisi “yang bersalah” karena ungkapan dan kata-kata yang diungkapkan oleh penyidik lebih sering menyudutkan posisi terlapor/teradu dan bukan untuk menemukan tindak pidana yang sesungguhnya. Hal ini mengakibatkan tekanan yang cukup berat bagi terlapor/teradu karena sebagai seorang suami yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan isteri ke arah yang lebih baik ternyata telah “dihambat” oleh undang-undang yang seharusnya memberikan keadilan bagi semua pihak.
Ya, inilah dilema dalam penegakan UU Penghapusan KDRT. Banyak peristiwa dalam lingkup KDRT terjadi pada posisi “terlapor / teradu” sebenarnya adalah “korban” dari suatu rangkaian kekerasan dalam rumah tangganya sendiri. Hal ini tentunya harus disikapi secara arif dan bijaksana oleh semua pihak, terutama sekali pihak yang berhubungan langsung dengan penanganan kasus-kasus KDRT, terutama sekali aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan juga para praktisi hukum lainnya untuk melihat secara jernih setiap permasalahan KDRT yang ditanganinya.
Untuk itu, dalam penanganan kasus-kasus KDRT (baik itu aparat kepolisian maupun LSM pendamping) harus mencoba untuk menelisik kasus-kasus KDRT yang ditangani dengan jalan melihat proses sebab - musabab – dan akibat dari suatu tindak pidana KDRT. Suatu tindak pidana – dalam bentuk apa pun- tidak akan pernah terlepas dari suatu proses sebab – musabab – dan akibat. Dalam hal ini, terjadinya suatu tindak pidana dimulai dari suatu sebab yang kemudian melahirkan musabab dan terakhir memunculkan akibat akhir sebagai suatu tindak pidana. Dengan proses penanganan perkara seperti ini, diharapkan sekali setiap penanganan kasus-kasus KDRT dapat menyentuh esensi keadilan bagi semua pihak, baik itu pelaku yang menjadi korban ataupun korban yang menjadi pelaku.
Diakui memang, tidak semua pelaku menjadi korban dalam suatu dugaan tindak pidana KDRT, tetapi hal ini sangat sering terjadi pada kasus-kasus yang dilaporkan kepada aparat kepolisian karena setiap kasus yang dilaporkan tersebut rata-rata dilaporkan oleh pihak yang mengerti akan undang-undang ini dengan baik dan menjadikan undang-undang sebagai tameng untuk memidanakan “pelaku yang menjadi korban”. Sementara itu, kasus-kasus KDRT yang memiliki dampak besar dalam lingkup kehancuran rumah tangga sering tidak terlaporkan karena adanya ketakutan dari korban yang benar-benar sebagai korban akibat ketakutan karena sikap pelaku yang memang sangat melebihi batas kewajaran dan kemanusiaan. Akhirnya, pihak yang memperoleh keuntungan dari proses penanganan yang tidak menyeluruh ini adalah pihak yang menggunakan kekuatan UU Penghapusan KDRT sebagai upaya mencari keuntungan sesaat, baik itu keuntungan materil maupun non materil.
Satu hal yang pasti, selama penanganan KDRT masih memihak pada “korban yang menjadi pelaku”, maka efektifitas keberadaan undang-undang tidak akan menyentuh esensi awal dari dilahirkannya undang-undang Penghapusan KDRT. Tindak kekerasan dalam rumah tangga memang suatu hal yang harus diminimalisir ataupun dihilangkan dalam lingkup rumah tangga di Indonesia guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi semua pihak. Tapi, jangan sampai dengan undang-undang yang punya tujuan mulia ini malah menjadi sebuah dilema baru dalam menjalankan kehidupan rumah tangga karena hilang atau hancurnya posisi sang suami sebagai pengayom, pendidik dan pelindung dalam rumah tangga.

1 komentar:

  1. Menarik membaca ttg tulisan ini...pedih saat mengingat pernah mengalami...bahagia dan tegar karna kuat bertahan belasan tahun. Bangga dan Semakin tekun dalam doa krn mampu membuktikan tanpanya, tanpa intimidasinya tanpa pernah menerima keadilan dr perlakuannya, mampu membesarkan dan menghidupi serta mencukupi kebutuhan buah hati meski harus tertatih dalam perihnya perjuangan. Satu doa dan pinta yg pasti jangan sampai menjadi "korban yang menjadi pelaku" karna menjadi pelaku berarti tak menghargai betapa pedihnya menjadi korban

    BalasHapus